Hobbit, manusia bertubuh kecil seperti dalam karya
fantasi J.R.R Tolkien atau mirip tokoh kerdil dalam film 'Lord of The
Ring', Frodo Baggins ternyata tak
sepenuhnya fiktif. Salah satu buktinya
ada di negeri kita sendiri.
Sebuah gua di Pulau Flores, Liang Bua menguak
eksistensi manusia hobbit, yang ukurannya mini, jauh lebih kecil dari manusia
kebanyakan. Nama ilmiahnya, Homo floresiensis.
Penemuannya menjadi berita utama hampir satu dekade
lalu dan terus menjadi kontroversi hingga saat ini. Berikut fakta mahluk
kontroversial, yang memukau dunia sains:
1. Otak lebih besar dari perkiraan
Ini temuan terbaru. Manusia hobbit dari Flores
ternyata memiliki otak yang lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. Ini
mendukung hipotesis sejumlah ilmuwan yang mengatakan, ia mungkin adalah cabang
unik dari Homo erectus -- nenek moyang manusia.
Sekaligus menepis anggapan bahwa mahluk ini adalah
manusia modern dengan microcephalia atau mikrosefalus -- suatu kondisi yang
mengarah ke kepala yang abnormal, tubuh kecil dan keterbelakangan mental .
Salah satu untuk menemukan jawaban atas pertanyaan
besar itu, para ilmuwan memindai interior tengkorak hobbit dengan CT scan
beresolusi tinggi. Hasilnya, otak hobbit Flores ternyata lebih besar dari
perkiraan sebelumnya. Yakni 426 cc-- sepertiga dari ukuran otak manusia modern
yakni 1.300 cc. Sebelumnya ilmuwan memperkirakan otak hobbit sebesar 400 cc.
"Penelitian ini tidak membuktikan siapa spesies
leluhur untuk Homo floresiensis, tetapi telah menghapus kekhawatiran bagi model
yang mengandaikan Homo erectus adalah spesies leluhurnya," kata peneliti
Yousuke Kaifu, paleoantropolog dari Museum Ilmu Alam dan Sains Tokyo, Jepang kepada
LiveScience (16/4/2013).
Ada kemungkinan lain, hobbit Flores berevolusi dari
Homo habilis, yang otaknya berukuran hanya sekitar 600 cc.
Para peneliti berharap, segera mengungkap fosil
manusia lebih kuno di pulau Flores. Untuk memecahkan misteri yang belum
terjawab tentang Homo floresiensis.
2. Ditemukan tahun 2003
Liang Bua, tempat ditemukannya fosil hobbit sudah sejak masa penjajahan menjadi tempat
ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah ditemukan banyak
kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia -- makhluk mirip gajah Stegodon,
biawak, serta tikus besar. Juga alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata
panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban
penghuninya.
Diawali kerja sama penggalian Indonesia-Australia
dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak peninggalan migrasi nenek moyang orang
Aborigin Australia di Indonesia. Pada bulan September 2003, setelah penggalian
pada kedalaman 5 meter ditemukan kerangka mirip manusia tetapi luar biasa
kerdil.
Tulang-tulang itu tidak membatu tetapi rapuh dan
lembap. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang lengkap.
Individu terlengkap, LB1, diperkirakan adalah betina
atau perempuan, ditemukan pada lapisan berusia sekitar 18.000 tahun, terdiri
dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri), serta beberapa tulang badan.
Individu-individu lainnya berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun
3. Wajah khas hobbit perempuan
Berdasarkan fosilnya, para peneliti telah mengungkap
wajah hobbit dari Flores yang berjenis kelamin perempuan.
"Ia tak bisa disebut cantik, tapi yang pasti
wajahnya punya kekhasan," kata antropolog, Susan Hayes dari University of
Wollongong, New South Wales, Australia, seperti dimuat situs sains LiveScience,
Selasa (11/12/2012).
Dengan latar belakang ilmu forensik, Hayes mampu
merekonstruksi wajah hobbit perempuan setinggi 1 meter, berusia sekitar 30
tahun yang ditemukan di Liang Bua tahun 2003 lalu.
Wajah hobbit Flores diumumkan dalam ajang Konferensi
Arkeolog Australia yang digelar 9-13 Desember di University of Wollongong.
4. Debat panas
Sejak ditemukan, kerangka hobbit menjadi sumber
debat panas para ilmuwan: apakah spesimen itu sejatinya spesies yang telah
punah dari silsilah keluarga manusia, mungkin cabang kecil dari Homo erectus,
hominid yang hidup 1,8 juta tahun lalu yang proporsi tubuhnya yang sebanding
dengan Homo sapiens moden.
Sementara, kaum kritikus berpendapat, fosil itu
adalah milik manusia dengan microcephalia atau mikrosefalus, suatu kondisi yang
ditandai dengan kepala kecil dan beberapa di antaranya disertai keterbelakangan
mental.
Namun, sebuah penelitian tahun 2007 mengungkap,
ukuran otak hobbit adalah sekitar sepertiga ukuran otak manusia dewasa modern.
Rasionya tak konsisten dengan karakteristik mikrosefalus.
5. Punah dimangsa burung?
Pernyataan yang juga belum terjawab menganai hobbit
tersebut adalah mengapa ia kemudian lenyap secara misterius.
Seperti dimuat Scientific American, 6 November 2011,
peneliti berusaha menguak hal tersebut dari fosil burung yang berada dalam gua
yang sama dengan fosil hobbit.
Temuan yang paling menarik dalam gua adalah fosil
burung bangau marabou (marabou stork) yang mati di gua itu 25.000 tahun lalu.
Bentuknya mirip dengan burung nasar berkepala putih yang saat ini hidup di
Afrika. Namun bentuknya jauh lebih besar.
Tingginya hampir dua meter, menjulang jauh lebih
tinggi dari para hobbit. Ini yang menimbulkan spekulasi: hobbit punah dimangsa
burung raksasa.
Seperti dimuat Discovery.com, penelitian terbaru
yang dimuat dalam Jurnal Biogeography yang dipimpin Hanneke Meijer dari Pusat
Penelitian Biodiversiti Belanda, menyajikan alternatif jawaban.
Meijer menduga, burung di Flores di masa itu juga
mencari makan dengan cara yang sama dengan nasar. "Satu-satunya alasan
mereka ada di Liang Bua adalah mencari makanan mereka, bangkai," kata dia.
Dia menduga, bangkai bayi stegodon yang dibawa hobbit ke gua mereka, menarik
perhatian burung itu.
6. Pulau Flores yang terisolasi
Catatan arkeologi menunjukkan, spesies nenek moyang
manusia, Homo erectus datang ke Flores, Nusa Tenggara Timur, pada masa
pertengan jaman Pleistocene -- antara 781.000 dan 126.000 tahun lalu.
Homo floresiensis tidak tampak di masa-masa akhir
periode Pleistocene, antara 126.000 dan 12.000 tahun lalu.
Meijer yakin setelah masa isolasi Pulau Flores, Homo
erectus beradaptasi dan berkembang menjadi hobbit, meski banyak arkeolog tak sepakat bahwa
manusia purba dari Flores yang berbadan dan berotak kecil itu adalah
metamorfosa dari Homo erectus.
Kunci untuk memahami hobbit Flores, kata ilmuwan
Hanneke Meijer, adalah dengan mempersempit lingkup cara pandang, yakni fokus
pada lingkungannya di Flores.
Dia menjelaskan, di Flores, menurut data fosil,
beberapa penduduk pulau, termasuk reptil dan mamalia, memiliki pengalaman
pengkerdilan (dwarfism) atau menjadi raksasa (gigantism).
Fakta menunjukan, bahwa kasus-kasus yang terjadi
pada hewan yang terisolasi akan mengalami perubahan besar tubuh secara drastis
-- karena perubahan pemangsaan atau sumber makanan. Alih-alih melihat mundur,
arkeolog harus melihat fenomena di Flores sebagai contoh adaptasi evolusioner.
(Ein)
0 komentar:
Posting Komentar